Thursday, 2 June 2011
Menjenguk Merapi
Hari ini puas dan lelah. Setelah mengalami perjalanan yang cukup panjang dari Salatiga menuju desa terakhir (maaf lupa namanya-masih termasuk daerah Muntilan) dari Puncak Gunung Merapi, hingga kembali lagi di kos; kaki terasa sangat berat untuk melangkah. Weekend yang cukup menyenangkan lumayan bikin tubuh dan jiwa jadi segar dan semangat kembali. Tidak sia-sia menerima ajakan teman dekat untuk berkunjung ke sana.
Hari pertama di Muntilan kami habiskan dengan bersantai ria sambil berkenalan dengan warga dusun dan teman pecinta alam lainnya. Kami yang terdiri dari perwakilan komunitas lingkungan hidup di Salatiga, saya dan sepupu, diundang oleh salah satu komunitas di Jogja untuk menghadiri acara yang mereka gelar. Acara tersebut merupakan salah satu dari serangkaian acara untuk memperingati peristiwa besar yang terjadi sekitar 2 bulan lalu yaitu meletusnya Gunung Merapi yang mengakibatkan banyaknya korban jiwa termasuk Mbah Marijan, Juru Kunci Merapi dan juga Mbah Bagor yang juga orang penting di kawasan Merapi.
Sekitar pukul 7 malam kami bersama anak-anak dusun berbondong-bondong menuju ke makam Mbah Bagor untuk mengadakan bacaan. Saya kurang tahu persis maksud ritual tersebut. Mungkin mirip dengan mendoakan arwah orang yang sudah meninggal agar diharapkan bisa tenang di alam baka (alam baru setelah seseorang mengalami kematian). Para lelaki dewasa dan anak-anak yang beragama muslim mengenakan pakaian muslim dan melakukan ritual tersebut di sekitar makam yang berukuran kurang lebih 5x6 meter. Persis sebelum makam Mbah Bagor terdapat pemakaman umum desa. Kami yang hanya menonton dan merekam ritual tersebut berdiri di jalan dekat makam. Saya cukup menikmati suasana remang malam tersebut. Pemandangan di sekitar saya selain batu nisan yang berjejeran juga terdapat kebun tembakau, sayur-mayur, dan juga kabut yang menutupi lereng gunung. Bulan dan bintang-bintang tambah mempercantik suasana malam itu. Rasanya hening, sejuk, dan nyaman. Sudah lama saya tidak bercumubu dengan suasana seperti ini. Indah!
Keindahan itu harus dibayar mahal dengan nyawa sebagai taruhannya. Perjalanan menuju dusun tersebut cukup menantang. Meski jalannya sudah di aspal bagus dan tidak terlalu menanjak tapi adrenalin saya cukup terpacu ketika melihat jembatan sementara yang diibangun dari bambu. Saya hampir nyerah dan minta pulang. Mobil Pick-up yang kami tumpangi rasanya tidak akan lolos dengan selamat melewati jembatan yang saya ragukan kekuatannya. Akhirnya kami para penumpang harus turun dan berjalan kaki untuk mengurangi muatan. Puji Tuhan, ternyata jembatan bambu itu kokoh juga. Tiangnya tidak goyang sedikit pun ketika dilewati mobil. Jalur bekas lahar merapi cukup dalam dan terbuka lebar. Material bebatuan masih banyak tersisa disana. Jika ada manusia yang jatuh ke kubangan tersebut, pasti kepalanya memar kena batu dan tak mungkin selamat. Tidak terbayang bagaimana perjuangan penduduk yang setiap hari melewati jembatan tersebut. Hebat!
Malam di dusun tersebut meski indah tapi cukup menyiksa saya karena dinginnya udara pegunungan. Sebagian besar teman-teman menginap di rumah Pak Kadus (kepala dusun). Kami yang dari Salatiga sengaja membawa tenda agar kami tidak terlalu merepotkan penduduk dalam hal penginapan. Sebelum beristirahat kami mengisi malam dengan membuat api unggun untuk menghangatkan badan sambil minum wine, hasil fermentasi dari nanas yang dibuat oleh salah satu teman. Saya cukup menikmati malam itu. Sangat menyenangkan ketika berkumpul dengan teman-teman dalam kebersamaan seperti ini. Rasanya tidak ingin mengakhiri malam itu. Teringat malam-malam yang sama ketika saya berapi-unggun dengan teman-teman fakultas waktu socev, naik gunung bersama teman-teman senat, dan ketika saya mengikuti kegiatan live-in di desa Mongkrong dan Ngaduman.
Sebelum ke lokasi perkemahan saya juga sempat bercengkerama dengan keluarga besar Pak Kadus. Mereka sangat ramah dan begitu tertarik berbagi cerita dengan saya. Satu hal yang membuat saya terharu ketika saya bertanya : "Bu pernah merasa bosan ga tinggal disini?" sontak sang Ibu dan anaknya menjawab : " Gimana mau bosan mbak, wong ini tanah kelahiran saya. Waktu erupsi, kami sempat evakuasi. Tapi bagaimana caranya kami harus kembali ke sini. Karena di sini tanah kelahiran kami." Saya langsung terdiam. Teringat mama dan papa, keluarga besar saya. Sewaktu saya memutuskan untuk tinggal di Salatiga, mereka rasanya berat untuk melepaskan saya. Ternyata begini ya rasanya kalau benar-benar menikmati kehidupan di tanah kelahiran. Memang tak bisa dibandingkan dengan keindahan di negeri mana pun. Mmmm kangen!
Api mulai redup. Kami kembali ke tenda masing - masing. Ada 3 buah tenda yang di bangun di ujung dusun. Tenda kecil 2 yang cukup nyaman dan berkapasitas 4 dan 2 orang. 1 tenda besar bisa diisi oleh 10-15 orang. Tapi sayang tenda yang besar kurang nyaman karena tutupnya transparan yang berlubang seperti jaring bukan terbuat dari terpal. Kurang cocok untuk di pakai malam hari dengan suhu sekitar 10-15 derajat. Saya dan sepupu saya menginap di tenda kecil yang berukuran kecil yang pas untuk 2 orang. Kali ini saya kurang persiapan. Tidak membawa sleeping bag. Alhasil, tidur kurang pulas karena kedinginan. Teringat akan kamar kosku!
Pagi yang indah di lereng gunung Merapi. Terlihat kerucut gundul berselimutkan abu yang berwarna silver kecoklatan mengepulkan asap putih. Abu sumber kehidupan penduduk sekaligus pemusnah kehidupan. Abu yang membuat tanah subur, sayuran tampak hijau dan indah menghasilkan bahan makanan untuk mengisi perut keroncongan, pengisi kantong-kantong duit penduduk yang mengandalkan hasil pertanian untuk sekedar membeli beras dan menyekolahkan anak-anak. Tapi abu itu juga yang pernah menggertak dan membumi hanguskan ladang dan rumah. Mengingatkan manusia akan Penciptanya. Ucap syukur selalu atas pemberian dan nikmatnya. Dan sewaktu-waktu IA bisa mengambil lagi, ketika kita mulai lupa, serakah, merasa berhak dan memiliki hingga jadi pelit dan kikir. Rendah hati!
Menu sarapan pagi kacang rebus. Kesukaanku. 1 piring besar kuhabiskan sendiri. yang ini pelit dan kikir. hehehe. Setelahnya saya mandi. Airnya... wow! dingin, seger, terasa enak dikulit. Bak mandi milik keluarga Pak Kadus mirip kolam renang di Muncul. Bisa buat berenang ataupun Bath-up. Memang sengaja dibuat besar-besar untuk menyimpan air kalau sewaktu-waktu air tidak mengalir. Begitu penjelasan Bu Kadus. Lho kok bisa, di lereng gunung air ga mengalir. Ternyata bukan karena mata air yang mati tapi pipa penyalur air yang sering di curi orang. Hmmmm... speechless!
Hari indah di Merapi segera diakhiri. Mobil penjemput telah tiba. Kami pun pamit pada teman-teman dan warga setempat. Sebagian teman-teman masih tertidur karena kelelahan mendaki ke Puncak yang masih harus di tempuh dalam waktu 3,5 jam dari dusun tersebut. Saya tidak ikut ke puncak karena kurang persiapan membawa barang-barang yang diperlukan untuk mendaki. Lain waktu ya!
Lelah. Ngantuk. Puas. Jam 2 siang tiba di Salatiga. Saya masih harus masak untuk mengisi perut yang kosong. Jam 4 saya bergegas untuk mengikuti ibadah sore di gereja. 1 lagi refleksi yang melengkapi weekend saya kali ini. Benar-benar diberkati oleh-Nya. Nah giliran saya yang memberkati. Semoga :)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment