Pertama kali menginjakkan kaki di tanahmu, aku langsung jatuh cinta. Ini kota pasti nyaman. Aku tak terlalu kaget karena suasana kotanya kurang lebih mirip dengan Kota Tomohon, tempat aku menghabiskan masa SMA selama 3 tahun. Sayang, aku tak terlalu menikmati kota itu, karena sepulang sekolah waktuku habis menyelesaikan tugas sekolah, bimbingan belajar, nyuci baju, nyetrika, dan berbagai aktivitas yang sudah dijadwalkan di asrama tempat aku tinggal. Lagipula aturan asrama membatasi kami para siswa untuk keluar seenaknya. Bagiku, yang bukan warga asli Tomohon tentunya yang ku tahu tentang kota itu hanyalah sebagian kecil saja. Terlepas dari keterbatasanku mengenal Kota Tomohon, aku cukup kerasan dan suka tinggal di situ. Penduduknya ramah, kotanya sejuk, panorama pegunungan yang tidak kujumpai di tanah kelahiranku dan wisata kulinernya sungguh bikin ngiler!
Aku kangen Tomohon. Dan itu kurasakan ketika aku sudah berada di Salatiga. Pikirku, kapan lagi aku bisa bersua dengan pabriknya bunga itu. Salatiga juga sejuk. Tapi kehidupan sosialnya cukup membuatku khawatir. Kok bahasa dan logatnya begini ya. Aku jadi kikuk, geli, aneh sendiri. Rasanya kurang lugas saat ngobrol dengan ibu kos, pake bahasa indonesia yang baik dan benar. Ditambah lagi, logat sang ibu yang 'medok' bikin aku nahan ketawa. Jadi ini yang namanya Jawa. Mari kita lihat seberapa aku bertahan dengan kesulitan berkomunikasi. Syukur,aku tak sendiri. Aku bersama 7 orang teman lainnya datang dan bermaksud kuliah bareng di UKSW. Jadinya aku tak terlalu kesulitan. Aku punya teman-teman.
Seminggu, dua minggu, sebulan, bahkan sekarang sudah hampir 5 tahun, aku masih hidup dan bernafas. Bernafas udaranya Salatiga. Tak peduli orang ngomong pake bahasa indonesia, bahasa jawa (ngoko), kupang, sumba, dan daerah di belahan indonesia lainnya, kedengaran lumrah bagiku. Itulah UKSW dan itulah Salatiga. 3 kali menghabiskan Natal di Kota Kecil ini yang juga memiliki bangunan gereja yang cukup banyak, aku tak apa-apa. Hasrat ingin pulang rumah tak sebesar hasrat ingin tinggal di Salatiga. Hampir seminggu sekali, aku (kadang sendiri, kadang bersama teman) berjalan kaki atau naik sepeda kaki menikmati hangatnya wedang ronde di daerah Kota sambil menikmati Salatiga di malam hari.
Kamar kosku di cemara merupakan pojok favoritku menghabiskan hari. Semenjak aktivitas kuliahku padat, aku terlalu banyak menghabiskan waktu di kampus sampai nginap. Daerah tempat tinggalku (kos) juga merupakan daerah yang sangat sejuk (sekarang mulai berkurang kali), sepi ga bising, pemandangan sekitarnya masih hijau, dan merupakan tempat yang sangat nyaman untuk tidur, menyepi, dan mencari ide segar (entah untuk apa). Berbeda dengan di Tomohon, di Salatiga pergaulanku lebih luas. Aku kenal banyak orang, tidak hanya mahasiswa dan dosen tetapi juga masyarakat luas Salatiga yang (mungkin) tidak pernah bersentuhan dengan dunia kampus. Bahkan aku sempat tinggal di daerah pedesaan di kaki gunung, dan juga menemukan seseorang yang spesial di kota ini. Siapa sangka.
Cerita tentang Salatiga takkan ada habisnya. Mulai dari makan nasi kucing yang dihargai Rp. 1000 per bungkus, makan tahu bakar dan minum susu murni di Lap. Pancasila (alun-alun kota), Lepet jagung di Pasar Malam yang sangat cocok di lidahku (harganya Rp. 500 per bungkus, tp aku kenyang kalo udah menghabiskan 6 bgks hahaha),tahu tempenya yang melimpah, sayur adas (yang baru pertama kali kucicipi disini), Keripik paruh, bersepeda kaki, atau jalan santai menyusuri perkebunan karet di dekat kosku. Outstanding! belum lagi sekedar menikmati hijaunya sawah, merasakan segarnya air sungai, dan masih banyak lagi.
Salatiga bukan kota besar. Bahkan ada temanku yang bilang Salatiga itu sebenarnya masih Desa. Ga ada mall, jalanannya sepi kecuali dari Blotongan ke Kauman karena kendaraan menuju Jogja, Solo, Semarang melewati jalur itu. Selain daerah Jl. Jend. Sudirman yang dihiasi pertokoan, Salatiga hanyalah gang kecil yang terdiri dari perumahan kelas menengah ke bawah dan jalannya masih banyak teradapat polisi tidur. Dan itulah yang memikatku. Orang-orangnya ramah, harga barangnya juga ramah termasuk makanannya. Berat badanku naik sekitar 10-15 Kg setelah 3 bulan tinggal di Salatiga dan ga mau turun sampe sekarang...
Mungkin ini bagian pertamanya. Selayang pandangku tentang Salatiga kecintaanku, melebihi tanah kelahiranku. Terima kasih atas keramahanmu, menerima dan menyapaku disini dengan apa adanya kamu. Tanpa polesan gemerlapan dan kerlap kerlip yang menyilaukan. Kamu sederhana dan bersahaja. Aku suka. Kamu kalem tapi tidak tidur. Kamu hidup di hidupku.Meski aku bukan keturuanan Jawa dan Orang asli Salatiga, bagiku Salatiga juga bagian hidupku. Banyak hal yang kuperoleh dan kupelajari disini. Setiap hari, setiap jengkalnya adalah keunikan yang kujumpai. Sampai ketemu di bagian kedua... Aku, Kamu, Kita tertawa, ceria, menangis, dan bercerita di Salatiga!!!
No comments:
Post a Comment