On my own way...
"Lelah meniti kepuasan diri, tiada terasa ku telah pergi meninggalkan Engkau sendiri..."
Penggalan lagu yang cukup membuatku tertunduk karena merasa benar adanya seperti yang tertulis pada lirik lagu. Sekian lama aku meniti jalanku sendiri, tanpa peduli orang-orangku yang disampingku. Bagiku mereka ada saat kubutuhkan dan saat tak kubutuhkan, aku tak peduli keberadaan mereka. Jahat bukan? dan aku tak khawatir, karena pasti mereka membutuhkanku dan pasti akan selalu ada orang-orang yang selalu siap membantuku. so, why so worries? there are so many man in this world, too possible for me for not to be alone. picik, egois, dan tega, mungkin itu lontaran yang cukup berat buatku. tapi bukan tanpa alasan aku menjadi apatis seperti itu.
Kepergian orang-orang terdekat tanpa kabar dan tanpa pamit cukup membuatku 'kebal' akan pahitnya hidup sendiri padahal aku sangat membutuhkan mereka. Janji yang tak urung ditepati, kebersamaan yang semu, ikrar untuk selalu menjagaku, menjamin kehidupanku, semua terasa hambar dan bikin eneg kalo mengingat senyum manis saat mengucapkan kata-kata manis itu. well, aku belajar ikhlas untuk semua itu meski menjadi apatis atau tegar sendiri. semenjak dari kejadian yang cukup pahit itu, terbentuk kebiasaan untuk selalu menyendiri dan kurang percaya pada teman. sulit untuk menerima tawaran persahabatan, penuh curiga, negative thinking, penolakan karena ketakutan-ketakutan kejadian masa lampau yang aka berulang. Hingga datang dan perginya seseorang dalam hidupku kuanggap biasa. itu bukan suatu sikap yang mendadak terbentuk, tapi itu hasil proses yang cukup panjang.
Tak heran orang-orang menamaiku si wanita berhati baja yang sulit nangis dan merasa tak butuh orang lain. kedekatan yang kujalani hanya ritual biasa dan aku merasa tak terlibat secara emosional dengan mereka. bahkan untuk orang yang sudah setiap hari makan dan tidur bersamaku, aku tak terlalu merasakan kedekatan emosional itu. saat mereka bersamaku, aku menikmatinya, tapi saat mereka sedang tak bersamaku, aku lupa akan kedekatan itu. Dan, wow, betapa kejamnya diriku hehehe :)
Merasa berjalan di koridor sendiri tanpa ujung, sesaat mengangguk memberi salam bagi orang kujumpai dan berpapasan dengan orang di lorong sempit itu, mencoba untuk membuka obrolan sejenak dan kemudian pergi melanjutkan perjalanan lagi. Entah sudah beberapa kali aku berpapasan dengan orang-orang, dan banyak yang menahanku untuk tinggal tapi aku tak tertarik. bukan karena mereka tak menarik tapi alasanku satu-satunya, mereka pasti tak akan betah untuk tinggal dengan orang yang tak punya kasih sayang seperti diriku...
selama ini aku menyusuri lorong yang sempit itu, dengan senyuman dan kesedihan. dengan warna tapi juga dalam putih abu-abu. semua klise. yang sesungguhnya terjadi adalah aku berjalan di tempat, mencoba mencari irama langkah yang pas untuk tubuhku berjalan, dan aku tak pernah keluar dari koridor itu. stagnan. aku tetaplah aku yang apatis dan sendiri. tak ada yang bertahan berjalan denganku dari awal hingga akhir, semua memilih jalannya sendiri. ada yang berjalan bersama, ada yang sendiri, dan aku tetap sendiri. sampai kutemukan sesuatu yang menarikku keluar dengan tiba-tiba dan aku menemukan tempat peristirahatan untuk berteduh sejenak dan aku tersadar kalau aku lelah, lelah meniti jalanku sendiri, dan aku tersungkur, di bawah sebuah pohon, yang melindungiku dari sinar mentari yang panas, dan dari lebatnya hujan yang bisa membuatku menggigil kedinginanan, dan aku punya waktu sejenak untuk bercengkerama dengan orang lain yang ikut berteduh di tempat itu dengen sebuah senyuman karena akhirnya penatku hilang :)
And Let God Smile...
Senyuman itu awal sebuah persahabatan. senyuman yang tulus saat kita berikan dalam keadaan tenang. Bukan senyuman cemberut saat kita sedang tergesa-gesa, jiwa letih, hati tak tentu, dan wajah muram karena kita sibuk memikirkan diri sendiri. Senyuman sederhana yang lama pudar dari wajah karena ekspresi jiwa yang sedang bebas, tak berbeban, dan merasa orang lain pantas untuk diberikan yang terbaik dan merekalah yang terbaik diberikan dalam hidup kita, entah siapapun dia, mereka yang sudah ditempatkan disekitar kita, entah kita mengenalnya atau tidak.
setelah aku menemukan jalanku sendiri, saat tanganku dituntun oleh sesuatu yang diluar kuasaku, aku tak merasa sendiri dan aku tak takut terantuk pada batu, karena ada sepasang tangan yang menggenggamku erat dan menunjukan jalur yang aman untuk dilewati. Jalur yang meski terjal dan keras tapi ada tangan yang sanggup menopangku melewati semua itu. saat tangan itu melepaskan genggamannya, aku tahu aku digenggam oleh tangan yang lain yang bisa menggantikan posisi tangan yang lama. itu sebabnya Dia menempatkan orang-orang yang berbeda di setiap belahan tempat dan waktu sesuai jalur yang akan kita lalui.
Dia luar biasa. Penyertaan-Nya sempurna. bahkan saat kita tak mampu menyelami semua itu, Dia tetap membiarkan kita tidak mengerti sampai Dia ijinkan kita mengerti suatu saat. Itulah kesabaran. Disaat kita tak pernah berhenti bertanya hingga kita menemukan jawabannya, disaat kita tak berhenti meminta hingga kita diberi, disaat kita tak berhenti mengetok hingga pintu dibukakan, dan disaat kita berhenti ketika kita tau apa yang kita minta itu salah, dan bukan itu yang kita butuhkan. Itulah kesabaran, tak mengenal putus asa, dan akan selalu menunggu dengan sebuah harapan.
Saat harapan itu ada, kita pasti tersenyum. Lega karena kita selesai dengan sebuah kesabaran, usaha kita menuai hasil, dan semua terjawab sesuai waktu. saat itulah kita mampu meyelami pekerjaan-Nya. mungkin itulah yang aku rasakan. ketika kesabaran itu tidak diartikan sebagai pekerjaan yang membosankan karena menunggu. kita bisa bermain, membaca, menulis, mendengarkan musik, dan online, sambil menunggu. banyak hal yang bisa kita lakukan sambil menunggu, so, kenapa harus berhenti menunggu, dan kenapa harus bosan, kalau menunggu itu adalah aktivitas yang mengasyikkan.
Itu (mungkin) yang dilakukan oleh Dia. saat dia melepaskan kita mengitari labirin waktu dengan tempat dan konsep yang kita tentukan, bahkan saat kita melepaskan genggaman-Nya karena merasa sombong, tegar, dan mampu kalau kita bisa sendiri, maka Dia sebenarnya tidak sedang membiarkan kita sendiri, Dia sedang mempercayai kita untuk digenggam oleh orang lain. Dan Dia tetap menunggu, menunggu hinggaa kita bosan bermain-main, bosan dengan hikmat sendiri dan kebodohan dunia, bosan bertanya-tanya, menebak-nebak, berfilsafat, menduga, dan berusaha menjadi tuhan atas hidup kita dan di dunia ini, Dia sedang menunggu sambil melakukan karya yang lain dan itu mengasyikan, hingga Dia tersenyum puas, karena karya-Nya berhasil dan kita kembali menjemput tangan-Nya untuk menggenggam hidup kita.
Dan pada saat itu, jiwa-jiwa yang penat dilegakan, hati yang gundah disegarkan, wajah yang cemberut dielusnya, karena senyuman-Nya, mengangkat semua masalah kita. bahkan ketika orang lain menganggap masalah itu sangat besar dan tak mampu dilepaskan, kita bisa berkata, itu bukan masalah, itu persoalan yang sudah ada jawabannya. Bukan karena pandang enteng atas masalah yang menimpa, tapi karena sudah ada yang menanggung beban itu. Sudah ada pundak tempat bersandar, sehingga beban kita terasa ringan, dan sudah ada tangan yang menuntun agar kita tidak salah jalan. Dan yang perlu kita lakukan hanyalah, tetap menggenggam tangan itu seperti sesederhana melipat tangan, menutup mata, menundukan kepala, bersimpuh di tempat paling rendah, mengakui bahwa kita bukan siapa-siapa, kita tidak ada apa-apanya. Kenapa begitu? karena tubuh dan nafas kita bukan diciptakan oleh diri kita sendiri dan bahwa ada kekuatan yang luar biasa yang mampu menciptakan itu dan tentunya Dialah yang memiliki kita dan berhak atas kehidupan kita. alasan yang sederhana.
so, maukah kita tersenyum untuk Dia dan buat Dia tersenyum? hanya dengan merendahkan hati, mengakui keberadaan-Nya, dan melakukan segala sesuatu bersama-Nya.
Nothing's bigger than HIM, believe it!