12 Maret 2012 adalah hari kelulusanku. Hari itu kami sekeluarga sangat berbahagia. Perayaan wisudaku di hadiri oleh Mama, Papa, Tante, Oma Uto, serta teman-teman di Salatiga. Rasanya seperti seorang pengantin wanita yang duduk di pelaminan. Aku merasa begitu istimewa.
Malam sebelum hari kelulusan itu, keluargaku yang tinggal di Menado : Adik-adik, Oma, dll, sempat dibuat gempar oleh pemberitaan di TV, yang mengabarkan bahwa desa kami yang terletak sekitar 500 m dari pantai akan di hantam Tsunami. Kami yang di Salatiga sempat shockdan panik. Bahkan dosenku ada yang ikutan khawatir dan kami jadi lupa bahwa besok adalah hari yang sangat penting bagiku dan keluarga.
Syukurlah Tsunami tidak benar-benar terjadi dan kami boleh tertidur dengan pulas. Setelah hampir seminggu keluargaku (kecuali papa yang telah kembali ke Menado duluan) menikmati liburan di Salatiga, kami beranjak ke Surabaya. Di surabaya ada keluarga Tante yang menetap. Aku senang karena sepupu-sepupu, anak-anak Tante, sudah seumuran denganku, jadi temanku banyak. Rumah itu cukup ramai dengan hingar-bingar kami. Kami memasak, nonton TV, bercanda, bercerita, berbelanja, dan benar-benar menikmati indahnya kebersamaan sebuah keluarga besar.
Aku, Mama, Tante, dan Oma, berkunjung ke Malang ke rumah salah satu kerabat kami, Om Yos. Di Malang aku sangat nyaman. Air pegunungannya begitu sejak, suasana desa yang sunyi sepi, hijau, dan berudara segar serta lagi-lagi atmosfir keluarga yang hangat yang membuatku berasa di surga :)). Aku sangat terhibur karena ada sepupu-sepupu yang masih kecil yang lucu, ceria, polos, dan menerima kehadiranku dengan penuh kegembiraan. Sudah lama rasanya aku kehilangan momen-momen seperti ini. Selama ini aku banyak menghabiskan waktu sendiri, sibuk dengan urusan kuliah dan organisasi, selalu setiap hari dengan teman dan lupa akan makna keluarga (keluarga secara biologis).
Malang menyita hatiku. Enggan rasanya untuk beranjak. Tapi kami harus pulang. Seorang sepupu, Olan pun tidak menghendaki aku pulang, Ia tak ingin berpisah. Akhirnya, Olan ikut bersama kami ke Surabaya. Keesokan harinya Mama Olan menyusul untuk menjemput Olan. Kami pun harus berkunjung ke Jakarta ke rumah adik mama.
Di Jakarta aku kurang begitu menikmati. Gaya hidup mewah serba bergengsi, suhu yang tidak bersahabat, kemacetan, dan segala macam kerumitan kota metropolitan seolah menyapa ku dengan ketidak ramahannya. Aku kurang nyaman. Di sana sini penuh dengan pembicaraan sarkastik. Untung lah setelah dua hari berkompromi dengan ketidak nyamanan, aku dan mama terbang ke Menado.
Tujuan terakhir ini, tanah tempat lahirku, rumah masa kecilku, dunia indahku, sungguh tak dapat kulukiskan betapa girangnya hati melihat kembali tempat itu. Aku melepas rindu dengan Oma tercinta, kedua adikku yang lucu-lucu dan bawel, tetangga-tetanggaku yang sangat memperhatikanku, tempat tidurku, babi-babiku, kedondongku, gerejaku, kebunku, lautku, pantaiku, ooh betapa aku banyak melihat diriku yang dulu di tempat ini. Mari bernostalgia. Indah. Menyenangkan. Menyedihkan, karena ternyata keluargaku selain modal terbesar ku menjalani hidup juga aku korbankan demi sebuah nama -masa depan-.
Betapa sebenarnya mereka menginginkan kehadiranku selalu di tengah-tengah mereka. Tetapi aku selalu bersikeras. Aku ingin merantau. Mereka pun mengalah, tenggelam dalam diam, tak berani bersuara, takut aku marah apalagi kecewa. Padahal sebenarnya mereka tak mau kehilangan momen bersamaku. Maaf... ! ! !
Matahari membangunkanku yang terbuai keindahan desaku yang tercinta. Kulitku hitam terbakar mentari pantai. Badanku mulai berlemak karena keramahan makanan yang selalu disuguhkan padaku tak ada habisnya. Oh Tuhan negeri ini limpah susu dan madu, tetapi aku meninggalkannya menjadi budak di negeri orang, budak pengetahuan yang kelak akan ku pakai untuk mengabdi di tanah tempat aku di lahirkan. Tanah yang sudah menghasilkan buah kelapa yang ranum yang memberi kami kehidupan. Penghasilan yang bagus. Terima kasih petani kopra.
Hampir sebulan bernostalgia, aku harus kembali ke Salatiga via Surabaya. Kembali aku di jemput Tante untuk transit semalam di rumahnya. Besok hari aku naik Bus jurusan Surabaya-Semarang. Aku mampir ke Rembang, rumah sahabat dekatku, Linda. Kami janjian untuk pulang ke Salatiga bersama. Rembang juga indah dan ramah. Begitu juga keluarga Linda. Sangat ramah.
Sebulan di Salatiga, aku di telepon mama, sepupuku di Surabaya, Rio, telah berpulang. Jantungku terasa jatuh. Ya Tuhan, rasanya baru kemarin kami tertawa sampai terpingkal-pingkal. Rasanya baru kemarin, dia membukakan dan menutup pintu saat aku pulang ke rumah atau mau berangkat. Adikku Rio, ternyata momen kebersamaan kita bulan kemarin, adalah yang terakhir. Menyesal, iya. Aku tak banyak punya cerita dengannya. Rio pendiam. Tidak seperti Kakak dan adik-adiknya. Rio yang paling jarang berinteraksi denganku. Tapi, aku sangat mengasihinya. Rasanya tak kuat membayangkan keluarga Tante yang sangat terpukul dengan kejadian ini.
Malam harinya aku langsung berangkat ke Surabaya, menumpang mobil teman yang hendak ke Sidoarjo. Sesampai di rumah Tante, hatiku hancur melihat Om, Tante, dan sepupu-sepupuku yang seolah tidak percaya dan belum siap menerima berita itu. Rio sudah terbujur kaku. Dia telah tiada. Tuhan, sediakanlah kekuatan dan penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan.
Sebulan yang lalu kami tertawa terpingkal-pingkal di rumah ini, kami tidak tahu kalau hari ini kami harus membayarnya dengan tangis kesediharan. Duka yang mendalam. Reuni keluarga kembali terjadi tetapi dalam suasana kehilangan dan kesedihan yang mencekam. Apalah arti kesenangan dibanding dengan kepiluan hati ditinggal buah hati dan orang terdekat yang paling kita sayang. Selamat jalan Rio... adik kami tersayang ! We love you still, ever !
12 Maret 2012 tepat setahun setelah hari kelulusanku. Mamaku juga bertandang ke Salatiga. tepat setahun kami tidak bertemu. Sudah merupakan hal yang biasa. Yang tak biasanya, tepat 3 hari yang lalu, Om kami yang terkasih, ayahanda Rio yang setahun lalu berpulang, juga telah dipanggil Tuhan. Dalam setahun 2 orang anggota keluarga Tante Ince, harus pergi dan tak akan kembali lagi.
Terpukul lagi. Sedih lagi. Berduka lagi. Sulit membayangkan kondisi keluarga Ma Ince. Oh Tuhan, Engkau pasti punya rencana yang jauh lebih indah bagi keluarga kami. Engkau pun telah menyediakan penghiburan dan sukacita bagi mereka. Apa yang harus aku lakukan.
Keluarga kami di uji dengan kejadian-kejadian hebat. Hanya doa, penghiburan, kekuatan, dan semangat yang bisa kami bagikan. Ada sukacita ganti dukacita. Suatu hari nanti, Dia akan bayar semua airmata kita dengan senyuman dan tawa, dengan kekuatan dan penghiburan tiada akhir. Betapa sangat berharganya arti sebuah keluarga.